SAYA TENTRA


Setiap kali Tentra ditanyakan kabarnya, dia akan menjawab bahwa dirinya baik-baik saja. Meskipun, di balik senyuman berseri-seri itu segudang persoalan dunia membelit pikiran dan jiwanya. Apalagi, semakin banyak informasi yang masuk setiap hari, Tentra pun semakin berlewah pikir.

Memang tidak mudah dalam mempertahankan suatu kebahagiaan. Tentra kerap merasa bosan, letih, dan susah; tatkala tujuan yang tengah dibidik dari garis permulaan melenceng dari jalur. Tentra melihat dirinya seperti seekor arachne yang terperangkap dalam jaringnya sendiri. Meskipun dapat leluasa bergerak maju, mundur, ke atas, dan ke bawah. Dia harus tetap berada di area benang tipis tapi kuat itu untuk selama-lamanya.

Keraguan dan kekhawatiran lambat-laun membanjiri setiap relung sel di kepala Tentra. Setiap napas yang mengiringi langkahnya untuk mewujudkan impian besarnya semakin lama semakin menipis. Tentra melihat seribu kelemahan dan satu kelebihan dalam dirinya. Bahkan, keramaian pun tak dapat mengusik rasa sepi di tubuhnya. Satu hal yang dia lakukan setiap hari adalah mencari, di mana keingintahuan ini berlabuh?

Namun, Tentra tak mau terus-terus berlari melewati jalanan yang mengeluarkan aroma yang sama. Dia masih ingat bagaimana aroma menyengat itu menusuk hidungnya. Sebongkah kayu tua dijadikannya tempat istirahat dari hiruk-pikuk jalanan berlendir kelemayar. Redup dan samar. Tentra tak bisa menapaki langkahnya seperti dulu. Merangkak pun dapat membuat dirinya kecapaian.

Ketika lembayung senja mulai menampakkan warnanya, Tentra pun bergegas, tapi entah ke mana. Angan untuk pergi selalu terlintas di kepalanya. Namun raganya tak pernah menembus batas pandangan ke masa depan. Terbetik rumor bahwa dia sempat mengakhiri langkahnya. Meskipun Tentra tidak takut pada kenyataan, dia tak pernah menyelesaikan makan malamnya secara tuntas. Rasa manis dan asam yang sama masih dia rasakan sampai sekarang.  

Tentra masih menginginkan perbedaan. Karena dia tidak bisa menyaksikan persamaan. Kebosanan dapat mengakhiri hidupnya. Dia selalu merindukan pembaruan. Meskipun, waktu menjaganya untuk melaju pelan. Tentra melepaskan masa lalunya dan mengenakan masa depannya satu per satu. Dia menjaga perbedaan yang menyelimuti tubuhnya.

Suatu hari Tentra menanam benih asa di kebun belakang rumahnya. Namun, satu windu kemudian dia hanya menuai rindu. Mendapati kepahitan tidak akan mudah, tanpa melepaskan kebahagiaan. Tentra akan selalu terlabel sebagai perindu, meski dia telah melawan arus sungai nan deras.

Embun pagi di dedaunan belum menguap, tapi Tentra telah mengeringkan air mata yang membanjiri pipinya. Pikirannya diselubungi oleh niat untuk melakukan ketidakbijakan. Dia mengerti bahwa noda itu akan menjatuhkannya ke dalam lautan api. Tentra tidak tahu apakah selama ini dia sudah mengikuti timbal yang baik. Keraguannya berkelindan dengan kekurangannya dalam memaknai hidup.

Kesombongan, kemalasan, kerakusan, iri dengki, kemarahan, hawa nafsu, maupun ketamakan masih menghantui hari-hari Tentra. Dia tak akan pernah menemukan pelangi, karena hujan telah mencuranginya. Tentra memaki hujan dan merundung guruh. Telinganya berdengung bagai kawanan lebah yang menemukan sepucuk kembang.

Tentra bersedu sedan mengetahui Sisyphus menyiasati maut. Walau Sungai Styx masih berarus deras, Tentra mencoba melawan arusnya dan bergegas ke hulu. Syahdan, dia mendapati dirinya terkapar, karena buah apel segar yang tergeletak di pinggir sungai.

Demikian yang dipikirkan Tentra dalam ketenteraman.


Penulis: Arif Ishartadi

0 Response to " SAYA TENTRA"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel